Mengisahkan Kesedihan


Mengisahkan Kesedihan

Aku hidup dari belaian kesedihan masa
lampau. Tumbuh dan dibesarkan seorang
diri oleh luka dan kecewa. Ibuku peri
malam bersayap perih, yang memendam
ketakutan dalam dada sebelah kiri.

Bertahun-tahun aku bersembunyi di
antara kata - kata yang menjadikan sajak
dan puisi-berharap ditemukan dalam
selipan buku kusam perpustakaan pinggir
kota, atau tumpukan jurnal yang tercecer
di meja kerja ayah, atau disalah satu bon
belanja bulanan ibu.

Tapi kini siapa yang peduli dengan sajak
dan puisi. Di dunia ini, orang - orang sibuk
menjadikan kata - kata sebagai senjata.
Saling menyerang dan melukai- lalu
menipu diri, berbahagia demi menghibur
luka masing - masing.

Tapi aku selalu menyukai kata - kata. Kata-
kata setia mengisi kekosonganku,
membawaku berlari dalam kesunyian dan
mengajariku cara menangis tanpa air
mata.

Aku begitu mengagumi ibuku, sebab ia
begitu berani memendam ketakutan dan
kesedihan dalam hatinya. Aku benci
ayahku yang tertawa dan berbahagia. Ia
pengecut selalu menghindar dan kabur
dari kesedihan, membohongi diri sendiri
dan berkata "semua akan baik - baik saja".
Ia lupa kesedihan akan selalu mampu
menangkapnya. Dan saat kesedihan
datang, semestalah satu-satunya
kesalahan. Ia tidak mau tahu jika masih
punya alasan lain.

Bagiku kebahagiaan hanyalah utopia,
kilau mahkota yang mencolok mata.
Orang sepertiku takakan pernah paham,
sebab aku takpernah menjadi rumah bagi
kebahagiaan. Dituju sebagai tempat
pulang paling aman. Melindungi dari
segala musim yang takpernah ramah.
Memberi rasa nyaman yang membuatnya
betah hingga lupa letak pintu keluar. Aku
tidak tahu bagaimana rasanya. Yang
kutahu kebahagiaan hanya singgah
mengantarkan kesedihan menetap.

Aku berteman dan menyukai
kesedihanku. Ia ada dimana saja. Di
pinggir jalan yang kusinggahi, kesedihan
bergumul ketiadaan bersama asap duka
menari-nari, mencumbui angan yang
takpernah bersepakat menghantarkan
aroma kisah esok.

Sesekali kesedihan juga bersarang pada
hati yang penuh duka. Luka - luka
bercengkrama, pada hari - hari lalu yang
entah hari apa aku lupa. Luka
berpestapora hingga mabuk di
penghujung subuh merayakan separuh
yang tak lagi utuh.

Pada tubuhkulah segala kesedihan
tinggal saat semua memilih tanggal. Ia
bermukim dan berkoloni-beranak pinak
dan berlipat ganda menjadi kesedihan-
kesedihan baru.

ralwafi-
Desember 17
@kumpulan_puisi



You Might Also Like:

Add your comment
Hide comment

Disqus Comments